Minggu, 23 November 2008

Kaos Oblong Jogja Pancen Oye!


Herry Mardianto

Konon khabarnya, etimologi kata oblong terdiri dari dua suku kata, yaitu “O” dan “blong”. “O” berarti bulat (umumnya bagian atas kaos oblong berbentuk bulat) sehingga kepala kita bisa masuk. “Blong” mengacu kepada situasi ketika rem kendaraan tidak berfungsi sebagaimana mestinya sehingga jalannya terus melaju tanpa hambatan. Jadi, oblong berarti sesuatu (kaos) yang atasnya bulat, dan ketika benda (kepala) dimasukkan, jalannya lancar, tidak ada yang mampu menghalangi....
Menurut Antariksa (2001), kaos oblong mulai dikenal pada akhir abad ke-19, semula dipakai oleh tentara Eropa sebagai pakaian dalam (di balik baju seragam) dan bisa dipakai sebagai pakaian luar jika mereka beristirahat. Istilah “T-shirt” baru muncul di Merriam-Webster's Dictionary pada tahun 1920. Pada Perang Dunia II, kaos menjadi perlengkapan standar pakaian militer di Eropa dan Amerika Serikat (T-shirt King). Kaos oblong mulai dikenal di seluruh dunia lewat John Wayne, Marlon Brando dan James Dean yang memakai pakaian dalam tersebut sebagai pakaian luar di film-film mereka. Teknologi screenprint di atas kaos katun, baru dimulai awal tahun 1960-an dan setelah itu barulah bermunculan berbagai bentuk kaos baru, seperti tank top, muscle shirt, scoop neck, v-neck dsb. Kaos oblong kemudian berkembang menjadi busana universal, tidak dibatasi oleh norma-norma lokal, bisa dipakai siapa saja, diterima di mana saja. Jadi jangan heran jika tidak ada seorang pun di Indonesia yang tidak mempunyai kaos; dari tukang becak sampai presiden semua punya kaos.
Oleh kalangan kreatif, kaos oblong dijadikan media implementasi desain untuk berbagai representasi, baik demi kepentingan pariwisata, politik, iklan, entertaiment, maupun perlawanan terhadap kemapanan. Desain yang dimaksud bukan sekedar karena ada gambarnya, tulisannya, tetapi karena apa yang termuat di dalamnya. Ketika orang memakai kaos bertuliskan: “Oposisi Mengapa Mesti Takut?”, si pemakai setidaknya seorang demonstran, ketika orang memakai kaos iklan sabun – ia marketing, kaos dengan desain lukisan Eddie Hara – lebih pas dipakai seniman. Pergeseran ini terjadi tidak sengaja; kaos yang semula hanya dipandang dari segi fungsional bergeser ke media indentifikasi atau wahana tanda, membawa pesan dalam “teks terbuka” di mana pembaca atau audience berpeluang memberi interpretasi. Di Yogyakarta, awal perkembangan kaos sebagai media tanda dan penanda tidak dapat dilepaskan dari inspirasi kreatif anak muda di bawah “bendera” Dagadu, Jaran, dan Sarapan. Ketiganya sama-sama menempatkan berbagai bentuk, gambar, atau kata-kata dalam berbagai pesan akan pengalaman, perilaku, perlawanan (bisa dimaknai apa saja), dan status sosial.
Dagadu mulai memproduksi kaos oblong sejak tahun 1994 dengan desain kontemporer dan contains-nya berkaitan dengan Jogja, everything about Djokdja: artefak, bahasa, kultur kehidupan, maupun peristiwa keseharian yang terjadi di dalamnya. Ini tidak lepas dari konteks posisioning Dagadu sebagai produsen cenderamata (menghargai orisinalitas). Meskipun begitu bukan berarti desain Dagadu adalah desain etnik, sebaliknya justru desainnya kontemporer karena market atau komunitas Dagadu adalah komunitas kontemporer. Desain-desain kaos Dagadu berkait erat dengan visi menyemarakan kota Jogja sebagai kota wisata, ingin menemukan kembali roh Jogja yang oleh sebagian pihak dirasa kian menghilang. Selebihnya, desain Dagadu selalu bersentuhan dengan fenomena sosial yang banyak disingkirkan karena dianggap rendah bagi orang lain: bagaimana tukang becak selalu dipepet (dalam desain Sleeping in My Becak: Been riding all nite just to get more money), kita tidak pernah melihat sisi romantisme tukang becak: mereka harus tidur di atas becak, terpaksa mengayuh lebih kuat untuk mendapatkan tambahan uang. Itu adalah fenomena sosial yang diangkat Dagadu dengan enteng sehingga muncul kesan kehidupan tukang becak bukan momok; kemiskinan juga bukan momok; tukang becak dan kemiskinan memang ada—keduanya bagai dua sisi mata uang tak terpisahkan. Desain lainnya mengenai Malioboro yang tidak lagi ramah (Malioboros), jalan sepotong itu berubah menjadi ajang konsumeristik, mengingatkan siapapun yang akan kesana (Malioboro) harus membawa uang berlebih karena di sana orang pasti akan “dirampok”, dipaksa menjadi konsumeristik…
Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Dagadu, desain kaos Jaran selalu menampilkan keaslian karya etnik dengan meminimalisir “pengolahan” kembali. Kepala stupa, relief beberapa candi, benda kerajinan tradisional, menjadi objek desain yang tak pernah mati. Kaos-kaos tendensius tampak dihindari Jaran karena sifatnya temporer. Desain etnik dijadikan pilihan karena dianggap bisa dipakai siapapun dan kapan pun; terasa romantis, membawa orang kepada romantisme masa lalu, dan romantisme itu diyakini sebagai suatu hal yang dicari bawah sadar setiap orang, ia hadir sebagai memorabilia. Hampir sama dengan Jaran Ethnic, Sarapan T-shirt pun memiliki desain kaos etnik. Bedanya, Jaran benar-benar pure etnik sedangkan beberapa desain produk Sarapan sengaja dikontaminasikan dengan unsur modern lewat pemunculan tokoh kartun Tintin. Di samping hadir kaos dengan tema “Djokdjakarta 1938”, “Perempatan Toegoe Djokdja 1938”, “Tamansari”, ada pula desain kaos Sarapan dengan tema “Tintin in Malioboro Jogja”, “The Adventures of Tintin on Yogya” serta “Where is Tintin”. Meskipun begitu, Sarapan setia menggali sejarah dan kebudayaan Jogja sehingga kehadiran Tintin tetap “terukur”dalam frame budaya Jogjakarta, sesuai dengan visi dan misi Sarapan yang menginginkan budaya Jogja tidak hilang; orang tidak lupa pada sejarah Ngayogyakarta Hadiningrat.
Kaos Jogja, memang beda dengan kaos Bali (Joger, Kaos Geek, Kuta Lines, Bali Art, Lombok Art) yang orientasi desainnya berkiblat ke aspek turistik; bukan lahir dari pendekatan arkeologis dan sosio-kultural. “Ah, kaos Jogja pancen oye....!” celetuk salah seorang pembeli kaos yang berdesakan di salah satu outlet di lantai dasar Malioboro Mal sambil mencermati kaos bergambar dua bunga kamboja dengan tulisan: Bali Wae neng Djokdja....
Baca selengkapnya...

Selasa, 18 November 2008

Museum Plered: Menjaga Jejak Sejarah

Di bilangan Jalan Kedaton, Plered, Bantul, Dinas Kebudayaan Yogyakarta membangun museum untuk menyimpan berbagai benda bersejarah yang ditemukan di situs Plered . Pada masa pemerintahan Amangkurat I, Plered menjadi pusat Kerajaan Mataram Islam.
Museum dibangun di lokasi ditemukannya sumur kuno (sumur gemuling) yang diyakini sebagai sumur Keraton Plered . Meskipun pembangunan museum belum sempurna, berbagai peninggalan warisan budaya tersimpan dengan baik, antara lain talam, bokor, gelang perunggu, sejumlah arca—antara lain arca Durga Mahisasura Mardini, berbagai guci keramik, dan beberapa foto situs Plered. Ada foto umpak di Kerto, struktur fondasi Masjid Mataram Plered, dan makam Gunung Kelir. Makam Gunung Kelir berkaitan dengan makam Ratu Malang, salah seorang isteri Amangkurat I.
Plered dikenal sebagai tempat ditemukannya berbagai benda peninggalan masa lalu. Desa Pungkuran I diyakini merupakan sudut beteng Keraton Plered sebelah barat daya. Dari catatan arsip Belanda, diketahui tinggi beteng Keraton Plered mencapai 5 – 6 meter, dengan ketebalan 1,5 – 2 meter. Pada saat ini bekas beteng Keraton Plered sudah sulit ditemukan. Bangunan ini dulu digunakan oleh Belanda sebagai pabrik gula dan setelah Belanda pergi, warga sekitar membongkar beteng tersebut untuk dibuat semen merah
.

Baca selengkapnya...

Minggu, 16 November 2008

MUSEUM ULLEN SENTALU



Ulating Blencong Sejatine Tataraning Lumaku

Museum Ullen Sentalu merupakan museum swasta, kehadirannya diprakarsai oleh keluarga Haryono, berada di bawah payung Yayasan Ulating Blencong. Museum Ullen Sentalu mulai dirintis pada tahun 1994 dan diresmikan pada tanggal 1 Maret 1997 oleh KGPAA Paku Alam VIII (sebagai Gubernur DIY pada waktu itu).
Museum Ullen Sentalu terletak di kawasan wisata Kaliurang (lereng Gunung Merapi), tepatnya di Taman Kaswargan dengan luas tanah 1,2 hektar. Kawasan Taman Kaswargan berada dalam suatu “historical district” tempat-tempat bersejarah: Pesanggrahan Ngeksigondo dan Wisma Kaliurang. Pesanggrahan Ngeksigondo dibangun atas perintah Sultan Hamengku Buwono VII sebagai tempat peristirahatan keluarga Kasultanan Ngayogyakarta, sedang Wisma Kaliurang pernah digunakan untuk perundingan Komisi Tiga Negara (Amerika, Australia, dan Belgia) pada masa revolusi kemerdekaan RI.
Secara filosofis, nama “Taman Kaswargan” dipilih karena lokasi taman terletak di ketinggian lereng Gunung Merapi. Masyarakat Jawa menganggap Gunung Merapi sebagai tempat sakral, dihuni para dewa. Selain itu, sejak zaman Belanda tempat ini dikenal dengan istilah “Naar Boven”— kawasan peristirahatan dengan alam sangat sejuk dan memiliki panorama yang indah.
Ullen Sentalu dirancang sebagai museum yang menghadirkan warisan-warisan budaya bersifat intangible karena beberapa warisan budaya terancam punah dan memudar; dihadirkan melalui karya-karya yang bersifat fine arts-- media seni yang dengan bebas bisa mewujudkan dan menampilkan warisan budaya intangible untuk dikomunikasikan secara tangible. Tujuan lainnya adalah mewujudkan dokumentasi karya-karya yang sebelumnya tidak terdokumentasikan, kecuali dalam bentuk literatur, khususnya pada era Mataram Islam. Museum Ullen Sentalu memiliki konsep “jendela” yang mengungkapkan proses peradaban zaman. Dari karya-karya yang ditampilkan, diharapkan mampu membuka celah untuk memasuki proses peradaban sehingga dapat menjelajah waktu dan ruang dari zaman Mataram Islam atau era Klasik.
Hingga saat ini Museum Ullen Sentalu memiliki 7 ruang, terdiri atas Guwa Selo Giri, 5 ruang di Kampung Kambang, dan Koridor Retja Landa—meliputi Ruang Seni Tari dan Gamelan (memamerkan kebesaran dan keindahan Jawa masa klasik melalui seni tari dan musik orkestra jawa, yaitu gamelan). Guwa Sela Giri (dibangun di bawah tanah berupa lorong panjang, merupakan perpaduan Sumur Gumuling Taman Sari dan gaya Gothic, memamerkan karya-karya lukis dokumentasi dari tokoh-tokoh yang mewakili figur 4 keraton dinasti Mataram yang dikemas dalam karya fine arts); Kampung Kambang (berdiri di atas kolam air dengan bagunan berupa ruang-ruang di atasnya, yaitu Ruang Tineke, Ruang Pendapa, Ruang Batik Vorstendladen, Ruang Batik Pesisiran, dan Ruang Budaya). Ruang Tineke menampilkan syair-syair dari buku kecil GRAj Koes Sapariyam, putri Sunan PB XI, Ruang Pendapa menampilkan seni berbusana para putri Mataram, Ruang Batik Vorstendlanden memajang koleksi batik dari era Sultan HB VII - Sultan HB VIII dari Keraton Yogyakarta serta Sunan PB X – Sunan PB XII dari Surakarta, Ruang Batik Pesisiran memamerkan berbagai kostum, selain dari batik ada pula bordir tangan untuk kebaya-kebaya yang dikenakan kaum peranakan mulai zaman HB VII (1870-an), Ruang Putri Dambaan memajang dokumentasi foto pribadi dari masa kanak-kanak hingga pernikahan GRAj. Siti Nurul Kusumawardhani (1921—1951); Ruang Budaya (memamerkan kekayaan dan kemegahan budaya Mataram yang tertuang dalam koleksi lukisan Bedaya Ketawang, Paes Ageng Pengantin Kasultanan Yogyakarta, raja-raja Mataram :Sultan HB IX, Sunan Paku Buwono X, Hamengku Buwana X, patung dan prasasti Sunan PB XII, patung paes ageng Yogyakarta dan Surakarta Hadiningrat. Koridor Retjo Landa (merupakan museum outdoor yang memajang arca-arca peninggalan zaman Klasik (Hindu-Budha).
Selain ruang-ruang yang sudah ada tersebut, saat ini Museum Ullen Sentalu menyiapkan ruang pamer baru, yaitu Ruang Peranakan (Indies), Ruang Miniatur Kereta, dan Ruang Prasasti.Setiap pengunjung akan mendapat suguhan minuman resep Gusti Kanjeng Ratoe Mas, permaisuri Sunan PB X, minuman spesial tersebut disajikan diakhir tour museum. Berbagai fasilitas pendukung tersedia di Ulen Sentalu, antara lain taman untuk berbagai keperluan. Bergegaslah mengamati koleksi eksotis Museum Ullen Sentalu di Jalan Boyong, Kaliurang.
Baca selengkapnya...

Rabu, 15 Oktober 2008

PERAK KOTAGEDE

Andai saja Panembahan Senopati di Mataram (Kotagede) tidak memerintahkan abdi dalem kriya membuat perhiasan dari emas dan perak, mungkin saja Kotagede tidak akan pernah mendapat julukan sebagai Kota Perak. Andai kata pihak keraton Yogyakarta, terutama pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII, tidak terpikat dengan hasil kerajinan logam berciri tradisional hasil sentuhan tangan abdi dalem kriya Kotagede, mungkin kilap perak sudah lama terbenam di antara rumah joglo (lambang kejayaan kekuasaan tradisional Jawa) dan rumah loji (dengan ciri seni bangunan Eropa sebagai lambang kejayaan para pedagang atau pengusaha pribumi yang berhasil).

Argentum (Latin), itulah asal kata perak, sehingga dalam ilmu kimia, perak ditandai dengan lambang Ag (dengan nomor atom 47). Perak dimanfaatkan untuk membuat uang logam, perhiasan, sendok garpu, bahkan menyeruak dalam pembuatan bantalan mesin pesawat terbang. Di Indonesia, kerajinan perak berkembang pesat di Kotagede. Menurut catatan Djoko Soekiman, sudah sejak abad ke-16 (masa kerajaan Mataram Islam), Kotagede muncul sebagai pusat perdagangan yang cukup maju; hal ini setidaknya ditandai dengan sebutan lain untuk kota ini, yaitu Pasar Gede yang dapat diartikan sebagai ‘pasar besar’ (pusat perdagangan yang besar). Selain itu, sebagai pusat perdagangan barang-barang kerajinan, nama-nama wilayah di Kotagede pun berkaitan erat dengan nama usaha kerajinan yang ada: Samakan (tempat tinggal para pengrajin kulit), Sayangan (tempat tinggal para pengrajin barang dari tembaga dan perunggu), Batikan (tempat tinggal para pengrajin batik), dan Pandean (tempat tinggal para pengrajin besi) dan sebagainya.
Munculnya kerajinan perak di Kotagede bersamaan dengan berdirinya Kotagede sebagai ibu kota Mataram Islam pada abad ke-16. Ada bukti yang menunjukkan bahwa seni kerajinan perak, emas, dan logam pada umumnya telah dikenal sejak abad ke-9 (zaman Mataram Kuna/Hindu) dengan diketemukannya prasasti di Jawa Tengah yang di dalamnya termuat istilah pande emas, pande perak, pande wesi, dan sebagainya. Perkembangan perusahaan perak Kotagede mengalami masa keemasan antara tahun 1930—1940-an dengan munculnya perusahan-perusahaan baru, peningkatan kualitas, dan diciptakannya berbagai motif baru.
Industri perak mulai berkembang dan merambah pasaran dunia ketika Kotagede kedatangan seorang pedagang bangsa Belanda yang memesan barang-barang keperluan rumah tangga Eropa dengan bahan perak. Barang-barang tersebut berupa tempat lilin, perabotan makan minum, piala, asbak, tempat serbet, dan perhiasan dengan gaya Eropa ber motif khas Yogyakarta didominasi bentuk daun-daun, bunga, dan lung (sulur). Ternyata pesanan itu diminati orang-orang Eropa. Sejak saat itu berbagai order berdatangan dengan jumlah yang terus melambung. Untuk menjaga dan meningkatkan kualitas, pemerintah Hindia Belanda mendirikan satu lembaga khusus, yaitu Stichting Beverdering van het Yogyakarta Kenst Ambacht (disebut juga Pakaryan Ngayogyakarta). Lembaga ini memberikan pelatihan tentang teknik pembuatan kerajinan perak dan pengembangan akses pasar. Kegiatannya antara lain mengikuti Pekan Raya di Jepang tahun 1937 dan di Amerika tahun 1938.
Perlu dicatat bahwa tumbuhnya perusahaan perak diawali dengan adanya pakaryan perak. Istilah pakaryan perak dimaksudkan sebagai usaha membuat barang-barang seni dari perak. Semula, barang-barang tersebut dibuat tidak untuk diperdagangkan apalagi memperoleh profit secara besar-besaran, tetapi sekedar untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Usaha pakaryan perak ujung-ujungnya mengalami perkembangan dengan adanya organisasi dan spesialisasi berupa perusahaan perak. Meskipun begitu, perak Kotagede masih dikerjakan dengan cara yang sama, yaitu sebagai suatu bentuk kerajinan yang menuntut keterampilan tangan.
Setelah mengalami pasang surut, industri perak Kotagede tetap tak lapuk oleh hujan tak lekang oleh panas. Saat ini, memasuki wilayah Kotagede berarti kita siap disergap puluhan art shop perak yang terserak di kanan-kiri jalan. Di Kotagede, wisatawan tidak sekedar dapat memilih dan membeli souvenir, tetapi bisa menyaksikan proses pembuatannya. Proses produksinya diawali dengan peleburan perak murni berbentuk kristal, dicampur dengan tembaga. Kadar perak standar adalah 92,5%. Perak yang dilebur dan berbentuk cair dicetak untuk mendapatkan bentuk yang mendekati bentuk yang diinginkan, misalnya bakalan bentuk teko atau bakalan bentuk cincin. Proses kedua ini disebut singen atau disingekake (dicetak). Proses berikutnya ialah mengondel, yaitu memukul-mukul hasil cetakan untuk mendapatkan bentuk yang sesuai. Proses mengondel memerlukan tingkat ketrampilan tersendiri. Sesudah memiliki bentuk yang bagus kemudian diukir guna mendapatkan motif yang diinginkan. Proses ini memerlukan tingkat keahlian sangat tinggi. Setelah diukir baru dirakit, misalnya teko dipasangi gagang berbentuk belalai. Proses terakhir ialah finishing, yaitu membuat barang menjadi mengkilap dan menampakkan pamornya. Standar kualitas barang perak ialah 92,5%, jika kurang belum layak disebut silver. Standar baku ini ditetapkan untuk menjamin kualitas produk. Sedangkan harga ditentukan oleh kadar perak tiap gramnya dan tingkat kesulitan pembuatan.
Bagi Anda yang menginginkan mengetahui kadar kemurnian perak, dipersilahkan mampir ke Balai Besar Perindustrian di Jalan Kusumanegara. Jika Anda masih awam dengan perak, dapat memulai kunjungan ke art shop KP3Y (Koperasi Produksi Pengusaha Perak Yogyakarta) di kawasan Mondorakan. Di sini kita bisa mendapatkan informasi tentang standar mutu dan harga perak. Kemudian penjelajahan bisa dilanjutkan ke berbagai art shop di seluruh penjuru Kotagede sambil menikmati suasana khas sebuah kota tua nan eksotis. (Herry Mardianto). Baca selengkapnya...

Minggu, 12 Oktober 2008

Gudeg Yu Djum: Sensasi Makan Tiada Tara


Hal ihwal kata gudeg ada yang mengatakan bahwa itu hanya nama salah satu jenis masakan dengan bumbu dasar tumbar, bawang putih, bawang merah, kemiri, gula jawa. dan garam. Tetapi menurut cerita yang juga dapat dipercaya, nama gudeg merupakan ungkapan terima kasih seorang Belanda kepada pembantunya (orang Jawa) yang bernama Saijah. Suatu hari, sang Belanda dimasakan makanan dari bahan gori. Orang Belanda itu sangat terkesan dengan masakan Saijah sehingga pada hari yang lain ia meminta agar Saijah membuat masakan seperti yang telah disantap beberapa hari yang lalu. Saijah yang lugu kebingungan, tidak mengerti kemauan tuannya. Orang Belanda lalu mencoba mengingatkan Saijah: “Itu lho masakanmu yang good (enak)…tiga hari yang lalu dik!” Saijah lalu teringat dengan masakan gori-nya, dan karena salah dengar ia mengira tuannya memberi nama masakan itu gudeg! Jadilah good dik dikenal sebagai gudeg sampai sekarang. Belive it or not!
Gudeg Yu Djum dimulai pada tahun 1950-an, diawali dengan usaha Yu Djum berjualan rumput yang hasilnya ditabung dan kemudian dibelikan peralatan untuk berjualan gudeg. Gudeg kering menjadi pilihan karena bisa tahan sampai 24 jam. Berbagai wadah disediakan untuk tempat gudeg ini: kardus, besek, maupun kendil, yang selalu dilambari daun pisang, bukan kertas minyak atau foil tahan panas. “Daun pisang menjadikan gudeg beraroma khas,” ujar Haryani.
Proses pembuatannya diawali dengan mengolah nangka muda (gori), diberi bumbu-bumbu “standar” seperti pembuat gudeg lainnya. Hanya saja, proses memasaknya menggunakan kayu bakar. Gula yang digunakan adalah gula merah murni dari Wates atau Purworejo dan garamnya adalah garam kristal. Menurut Haryani, gudeg memang baru enak setelah melalui proses pembakaran selama 18 jam. Penyajian gudeg dilengkapi dengan sambel krecek, tahu-tempe bacem, dan cabe rawit rebus. Uniknya, meskipun bumbu tahu-tempe bacem ini sama dengan tahu-tempe bacem umumnya; tetapi rasanya berbeda ketika tahu tempe itu dihidangkan bersama gudeg. “Saya tidak tahu persis, mengapa bisa begitu,” papar Haryani dengan nada heran. Akan lebih enak lagi jika menikmati gudeg ditemani oleh krupuk tradisional atau lempeng legendar.
Gudeg Yu Djum mampu menghabiskan antara 50 sampai 150 ekor ayam dan 2.000 sampai 4.000 butir telur seharinya. Sedangkan untuk hari libur, bahkan bisa mencapai dua kali lipat. Gudeg dengan bungkus daun, dengan menu telur separo plus tahu dan daging ayam sesuwir biasa dijual dengan kisaran harga dari 1.500—4.000 rupiah; paket kardus –umumnya memakai nasi beserta lauknya– dengan harga 4.000—17.500 rupiah; paket lauk dengan bungkus besek dijual dari harga 10.000—90.000 rupiah; gudeg kendil dari 30.000—90.000 rupiah. “Kami menyediakan gudeg kering yang manis legit” jelas Haryani saat ditemui JelajahJogja di Barek.
Selain berjualan di Wijilan, Yu Djum juga melayani pembeli di Karangasem. Dibukanya rumah Yu Djum di Karangasem sebagai tempat usaha penjualan gudeg ini karena pada awalnya gudeg Yu Djum Wijilan (ketika itu masih menyewa) hanya buka dari pukul 06.00—12.00. Untuk tidak mengecewakan pelanggan, maka setelah di atas pukul 12.00, pelanggan tetap bisa mendapatkan gudeg Yu Djum di rumah Karangasem. Cara ini lama-kelamaan menjadikan gudeg Yu Djum Karangasem pun mulai dikenal orang. Di samping gudeg, dijual pula beberapa makanan tradisional, antara lain peyek Parangtritis, ampyang, dan sebagainya.
Menurut Haryani Widodo, perkembangan gudeg di Jogja dimulai dari kampung Karangasem, sebuah wilayah perkampungan yang terletak di sebelah utara gedung pusat UGM, tepatnya di utara selokan Mataram. (Herry Mardianto)
Baca selengkapnya...

Kanjeng Ratu Kidul, Penguasa Laut Selatan

Menurut mitologi Jawa, Kanjeng Ratu Kidul merupakan tokoh yang menguasai laut di selatan pulau Jawa. Dalam beberapa cerita lisan, Ratu Kidul merupakan isteri dari semua raja yang berkuasa di keraton Mataram sebagai kesepakatan dengan Panembahan Senopati (raja pertama di keraton Mataram). Kanjeng Ratu Kidul dianggap sebagai penjelmaan dari Ratna Suwidi (putri raja Pajajaran, Prabu Mundingsari). Ia selalu menolak jika hendak dikawinkan, akhirnya diusir dari keraton dan menyendiri di gunung Kombang. Melalui tapa brata, Ratna Suwidi berharap dapat menjadi manusia yang tidak akan pernah mati. Oleh para dewa, permohonan itu dikabulkan, ia dijadikan makhluk halus penguasa laut selatan. Baca selengkapnya...

Loro Jonggrang: Antara Kecantikan dan Kutukan

Dalam sebuah mitos tersohorlah gadis cantik nan jangkung (jonggrang). Kulitnya putih sempurna bak pualam dengan mahkota rambut hitam tergerai. Sorot pandang matanya tajam menikam. Aura dari tubuhnya adalah sensasi lukisan hasrat dari setiap lelaki yang memandangnya. Dengan segenap kesempurnaan ia hadir sebagai wanita dengan harga diri yang tak mudah terkoyak, tak mudah ditakhlukkan oleh kesaktian Bandung Bondowoso. Ia adalah sosok jelita Loro Jonggrang. Kematian ayahnya di tangan Bandung Bondowoso melahirkan tumpukan dendam tak berkesudahan. Ditolaknya cinta Bandung Bondowoso meski harus menerima kutukan menjadi patung batu sekalipun.
Begitulah mitos dibalik cerita terjadinya candi Prambanan (dikenal pula sebagai candi Shiwa atau candi Loro Jonggrang) yang terletak hanya beberapa ratus meter di sisi utara jalan raya Jogja—Solo, kira-kira di bilangan 17 kilometer arah timur dari kota Jogjakarta. Candi Prambanan didirikan oleh raja Mataram bernama Rakai Pikatan (dari dinasti Sanjaya) pada tahun 856 Masehi. Bangunan candi bercorak Hindu, terdiri atas halaman pusat, halaman tengah, dan halaman luar. Bilik utama dari candi induk ditempati oleh Dewa Shiwa sebagai Mahadewa sehingga tidak salah jika anda menyebut candi Prambanan sebagai candi Shiwa. Bilik candi induk menghadap ke arah utara, berisi patung Dewi Durga, permaisuri Dewa Shiwa, dikenal pula sebagai patung Roro Jonggrang. Menurut legenda, patung itu sebelumnya adalah sosok hidup Roro Jonggrang yang dikutuk oleh Bandung Bondowoso (pangeran perkasa buruk rupa) untuk menyempurnakan kesanggupannya menciptakan seribu patung dalam waktu satu malam. Candi lain yang terdapat dalam kompleks candi Prambanan adalah candi Brahma, candi Wisnu, di samping beberapa patung seperti Nandi (lembu – kendaraan Dewa Shiwa), angsa (kendaraan Dewa Brahma) dan garuda (kendaraan Dewa Wisnu).
Candi yang kini berdiri megah menantang langit itu pada awalnya merupakan reruntuhan bebatuan andesit di antara semak belukar yang ditemukan oleh seorang Belanda bernama C.A. Lons pada tahun 1733 Masehi. Kini bangunan berbentuk gunungan itu merupakan objek wisata yang dapat anda kunjungi setiap hari. Anda dapat mencapai kompleks candi Prambanan dengan kendaraan umum dari Jogjakarta menuju arah Solo. Baca selengkapnya...